Rabu, 23 Maret 2011

Kehidupan Seorang Penulis

Kehidupan Seorang Penulis

Desir angin yang berhembus memperlambat langkah kakiku. Aktivitas jalanan agaknya juga tersendat. Para pejalan kaki menggigil dan memeluk tubuh. Sepanjang jalanan telah basah dan butir-butir kecil air hujan sebening kristal terus berguguran dari langit yang kelabu.
Di hari yang lesu seperti ini, tempat ini tampak tidak kehilangan peminat. Aku menepis butir-butir air yang menempel di jaketku sambil berjalan masuk dalam antrian lift. Pintu lift terbuka dan beberapa orang menyeruak keluar dengan tergesa-gesa. Aku berebut tempat untuk masuk dan mendapati diriku berdesakan dalam kotak segi empat bergerak yang pengap. Ada beragam aroma mengambang di udara. Ketika bernapas, tertarik bersama kadar oksigen di udara yang sangat tipis dalam ruangan sempit. Seorang laki-laki kurus mengisap rokok di sudut dekat pintu. Dan seorang wanita agak gemuk mengibas-ngibaskan tangan menghalau asap yang tampaknya sengaja mendekatinya. Lalu pintu lift terbuka. Beberapa orang di luar mencoba masuk sebelum orang-orang di dalam sempat keluar. Ada suara ribut dan sumpah serapah. Aku tetap diam di tempatku, karena tujuanku di lantai berikutnya.
Bau asap rokok masih tersisa meskipun orang yang sebelumnya merokok sudah keluar. Dan masuknya orang baru menebarkan aroma yang baru. Pewangi badan yang dipakai secara berlebihan menjadi dominasi aroma kali ini. Agak menyesak hidung.
Aku segera bergerak begitu pintu terbuka. Terpaksa saling mendorong karena orang-orang dari luar mendesak untuk masuk.
Aku melewati beberapa etalase dan sulit untuk tidak melirik barang-barang yang dipajang. Dan setelah melihat barang-barang itu, timbul keinginan memilikinya. Berjam-jam, berhari-hari keinginan untuk memiliki benda-benda itu terus muncul di kepalaku. Dan itu sungguh mengganggu. Itu juga sebabnya aku berusaha menghindari datang ke pusat-pusat perbelanjaan seperti ini. Tapi kali ini agaknya aku tidak punya pilihan. Seorang teman lamaku yang datang dari jauh ingin bertemu denganku untuk membahas sesuatu.
Aku melihat temanku melambaikan tangan ke arahku. Di sampingnya duduk seorang yang tidak kukenal. Seorang wanita. Temanku menyalamiku dengan hangat dan memperkenalkan teman wanitanya. Aku merasa agak kikuk. Karena terus terang, aku tidak tahu kalau pembicaraan dengan temanku ini akan menyertakan seorang wanita yang tidak kukenal. Tapi aku diam saja.
‘Jadi, menurutmu bagaimana?’ ujar temanku setelah kembali duduk.
Aku menatapnya sesaat. Masih mempertimbangkan tawarannya. Sebetulnya dia sudah memberitahuku beberapa hari yang lalu. Tapi begitulah, setelah berpikir begitu lama aku masih tidak bisa memutuskannya.
Melihatku masih ragu-ragu, temanku kembali berkata, ‘Ayolah. Kau tidak harus menetap di sana. Hanya perlu mengawasi saja.’
Yang membuatku tidak bisa memberinya jawaban tegas hanya dikarenakan prinsipku. Permintaannya sebetulnya tidak susah dan aku juga membutuhkannya pekerjaan. Hanya saja, itu berarti aku harus kembali ke daerah asalku. Aku telah bertekad tidak akan kembali ke daerah asalku sebelum aku berhasil.
Aku menyadari kalau ternyata dari tadi teman wanita temanku memperhatikanku. Sementara aku larut dalam keragu-raguanku, wanita itu telah mempelajari sesuatu dari diriku. Itu yang selalu kuyakini. Jika seseorang memperhatikanmu, maka tentulah akan berkembang suatu persepsi samar tentang dirimu. Dan persepsi itu bisa baik atau buruk.
‘Baiklah. Tapi aku tidak akan menetap di sana.’
‘Tentu saja. Semua terserahmu,’ temanku terlihat begitu senang dan menjabat tanganku dengan erat.
Seorang pelayan datang dan menanyakan pesananku. Aku memesan secangkir kopi karena aku merasa agak mengantuk.
Temanku sedang membicarakan sesuatu dengan teman wanitanya. Mereka seperti berbisik dan aku tidak bisa mendengar dengar jelas.
‘Aku dengar kau sedang menulis buku,’ ujar teman wanita temanku itu.
Aku sedikit terkejut dan spontan menatap temanku. Temanku hanya mengangkat bahu dan tersenyum.
Teman wanita temanku itu terus menatapku. Dan aku membalas menatapnya sekilas. Aku merasa tidak nyaman. Pertanyaan yang barusan diajukannya adalah sesuatu yang paling malas kujawab.
Ide penulisan buku memang pernah muncul. Bahkan sudah kutulis beberapa bagian. Tapi akhirnya aku tidak menyelesaikannya karena tidak tahu harus menuliskan apa. Dan mungkin tidak akan pernah kulanjutkan lagi. Tapi celakanya kabar tentang aku menulis buku sudah menyebar di antara teman-teman lamaku.
‘Hmm…. aku tidak tau kapan akan menyelesaikannya.’
Temanku menyela. Katanya pada teman wanitanya sambil melirik ke arahku, ‘Dia suka menulis. Sangat puitis. Dulu kami sering memanggilnya pujangga.’
Aku menggelengkan kepala. Bukan merendah. Tapi aku merasa heran dengan persepsi yang telah tertanam dalam kepala temanku akan citra diriku. Terus terang aku tidak puitis. Suka menulis memang betul. Dan sebutan pujangga tampaknya agak berlebihan. Menurutku, setiap orang adalah pujangga. Ketika seseorang jatuh cinta, maka kata-katanya menjadi indah dan manja.
Tapi selama ini, aku sangat jarang atau bahkan tidak pernah menulis mengenai sesuatu yang manja. Karena itu aku tidak tepat disebut sebagai pujangga.
‘Oh. Kenapa tidak cepat diselesaikan?’ teman wanita temanku semakin antusias mendengarkan perkatan temanku.
‘Entahlah. Aku tidak tau harus menulis apa. Dan mungkin tidak akan pernah diselesaikan.’
Tiba-tiba antusias teman wanita temanku itu menyusut. Dia mendadak menjadi tidak tertarik lagi berbicara denganku. Sementara temanku hanya menatapku simpatik dan berkata, ‘Sayang sekali.’
Belakangan kuketahui bahwa teman wanita temanku itu ternyata adalah penulis novel. Dan sebetulnya waktu itu teman wanita temanku itu ingin meminta saran dan pendapatku. Tapi karena mendengar bahwa aku bahkan tidak tahu harus menulis apa, teman wanita temanku itu tidak jadi meminta pendapatku.
Aku hanya bisa tersenyum.